“ Dan diam, adalah bahasa yang di
pahami alam, hanya diam “
Aku
bisa jatuh terlena, menikmati aroma tubuhnya yang di bawa angin ketika ia
melewatiku, aroma lehernya seperti jeruk, menyegarkan, dan bisa saja aku mulai
bergairah ketika dia mengerayangi pakaianku, menyentuh kulit tanganku hingga
paha, jarinya yang lembut membuat aku hampir saja berimajinasi bercinta
dengannya disaat toko sudah tutup, menikmatinya di sekelilingku dengan khidmat
membuat aku hampir saja tertangkap basah sedang mengikuti geraknya dengan
mataku, ahhhh rasanya aku ingin sekali bertanya siapa namanya, kemudian saling
bercakap – cakap banyak hal, mengenai semua hal tentang keduanya yang sama –
sama ingin di ketahui, saat malam semakin larut, kata – kata menjelma gerak,
ciuman – ciuman mengambil peran pertama. Aku sadar betul di sampingku, manekin
laki – laki bergaya kantoran itu sedang memperhatikanku, mungkin ia risih
akibat gerak – gerikku yang bisa saja
membahayakannya, tadinya aku tak mau ambil pusing, tapi aku berfikir mungkin
benar juga jika seharusnya aku menjaga sikap, apa jadinya nanti jika pengunjung
toko menangkap basah sebuah manekin bergerak atau orgasme.
Sudah
tiga hari ini laki – laki itu datang ke toko tanpa membeli satu helai pakaian
pun, dia hanya melihat – lihat manekin laki – laki di sebelahku, sesekali dia
iseng meraba – raba aku dengan mata yang tetap memandangi harga jas yang di pasangkan pemilik toko di kerah jas
manekin disampingku, aku nikmat bukan
kepalang, bagaimana tidak jarinya menekan – nekan pahaku, apa dia tidak
berfikir bahwa aku ini hidup, walau jasadku hanya sebuah patung beku dan kaku,
yang bisa saja rusak, tapi jiwaku tetap hidup, jiwaku hal yang sakral dan
nyata, merasakan segala nyeri dan bahagia, kecewa juga menyesal, tak terkecuali
nikmat yang di alirkan jari – jarinya di atas kulitku, tapi benar, dia mana
mungkin mengetahuinya, bergerak sedikit pun aku tidak melakukannya, mungkin
sesekali hanya mataku, itupun jika tak ada pengunjung yang berada di sekitarku,
itu sebabnya mungkin dia semakin asik mendamparkan lengan dan jemarinya di
kulitku, atau mungkin dia sedang berimajinasi andai aku hidup dan ia ingin bercinta
denganku, karena tidak bisa di pungkiri, meskipun aku sebuah manekin, tubuhku
tak kalah sexy dengan wanita hidup, mungkin aku lebih sempurna, tubuhku tinggi
langsing, dada ku besar padat, pinggang ku kecil, bokongku bulat sempurna,
walau terbungkus pakaian bersegel harga, tubuhku membentuknya sempurna. Dia
melenggang pergi menuju sebuah coffee house di sebrang toko ini, mataku
membuntuti, beruntungnya aku karena tak
ada satupun penghalang yang bisa menghilangkan bayangannya, aku terus
melihatnya hingga masuk, memesan, dan menikmati secangkir coffee, dia duduk
hanya seorang diri, aku mulai lagi berimajinasi, andai tak ada yang peduli aku
ini hidup, sehingga takan ada satupun yang terkejut jika aku bergerak, aku akan
menemaninya, minum coffee bersama sambil membicarakan hal yang menyenangkan,
pastilah membahagiakan, tapi kembali lagi pada dunia nyata, aku ini hanya
sebuah manekin, dan hanya jiwaku saja yang dapat mengelana.
Dia
memandang kesini, melihat lagi manekin di sampingku, mengeluarkan dompet dari
sakunya, mengintip, melihat lagi kesini, lalu melenggang pergi, aku penasaran
apa yang sebenarnya dia cari, apa alasan dia kesini, memandang dan kemudian
pergi begitu saja, sungguh itu hal yang membuat aku gila, bagaimana tidak, aku
jatuh cinta kepada seorang laki – laki yang entah apa alasannya datang berkunjung
ke toko ini, dan akibat dari perbuatannya itu membuat aku tergila – gila sampai
hampir gila. Malam sudah larut, senja pulang dan tidur, malam siaga menjaga alam,
bintang dan bulan mulai bersaing berdandan, yang menor adalah yang cantik,
bukankah manusia lebih menyukai riasan bintang dan bulan yang menor, sehingga
cahayanya menyita mata – mata untuk menikmati pesonanya, lalu apa yang terjadi
pada riasan bintang yang di poles bedakpun tidak, ia redup, ia terabaikan, ia
di anggap tak ada, tapi ia ada, dengan cahaya yang meletup – letup, nyala,
padam, nyala, padam, kemudian mati, tapi itulah hidup, keseimbangan yang takan
pernah seimbang.
Laki
– laki itu baru saja keluar dari coffee house sebrang toko, ia menatap kesini
kemudian mendekati, tunggu, ia menatap aku, kali ini ia menatap aku, tepat di
mataku, bagian tubuh yang selalu menjadi yang paling bodoh belajar berdusta,
lalu ia menatap lagi manekin sebelahku, ah aku benar – benar kesal, apa yang
kurang menarik dariku, yang membuatnya lebih memilih memandangi berulang kali
manekin kaku bergaya kantoran di sebelahku itu. “ Uang ku masih tak cukup “
gumamnya lirih, aku menemukan alasannya mengapa dia selalu saja datang kesini,
dia mau membeli jas yang di peragakan manekin sebelahku namun uangnya masih
belum cukup untuk membeli. Dia bersandar di kaca toko, kemudian duduk di teras
jalan, tak ada penghangat yang dia kenakan, jaket atau semacamnya, padahal
cuaca sedang dingin – dinginnya, angin sedang jatuh cinta dan kasmaran kepada
dedaunan, sebab itu angin berlari –lari kencang, hembusannya membuat daun –
daun menari dan melihatnya demikian membuat angin kehilangan arah, namun mereka
tetap sepasang kekasih yang saling mengisi juga melengkapi. Lengannya memeluk
tubuh sendiri, dari mulutnya keluar hembusan uap – uap akibat dingin, dari
sini, dari jarak yang bisa saja aku tempuh untuk memeluknya, tapi aku memilih
diam, dan sepanjang koridor toko, pelukanku adalah lampu – lampu yang
menggerayangi tubuhnya, memeluknya tanpa tubuh adalah cara yang bisa ku tempuh
saat ini, sampai doa yang ku pos kan kepada Tuhan sampai, untuk mengubahku
menjadi manusia, itupun jika Tuhan tidak memilih – milih doa mana dan siapa
saja yang dapat di kabulkan, jika begitu apalah arti sebuah doa dari manekin
yang ingin menjadi manusia.
Sudah
beberapa hari ini dia tak datang berkunjung, banyak pengunjung lain yang
menggerayangi aku, ada wanita ada juga pria, jari – jarinya membuat aku jijik,
enak saja mereka menyentuh aku. Kulitku, tubuhku hanya untuk laki – laki itu,
tapi dia ada dimana ? apa dia baik – baik saja, aku rindu di sentuh. Sepanjang
hari aku berdoa kepada Tuhan yang semoga saja tak menimbang – nimbang doa
sebuah manekin pantas di kabulkan atau tidak, aku berdoa dari pagi hingga
malam, detak jarum jam membuat aku
ngilu, sebab sudah berapa banyak waktu yang membuat aku semakin tersiksa karena
rindu bertamu di sepanjang kulitku, dan berjuta – juta dia berjalan – jalan di
ruang kepalaku, aku melihat ke sebrang toko ini, kau yang biasanya disanapun
tak ada.
Dua
hari tanpa kedatangnya membuat aku tak karuan, aku menangis tak tahu waktu dan
tempat, hampir saja seisi toko tengah mempergokiku, karena aku menangis di saat
toko ramai, seorang pengunjung heran melihat dari mana air di mataku ini,
padahal jika bocor dari atap hujan pun tidak, aku hampir menjadi perhatian
banyak orang, oh Tuhan dimana dia, aku bosan menunggu dan menunggu, aku rindu,
sungguh, kulitku ibarat tanah gersang terbelah yang membutuhkan hujan bertahun
– tahun, aku rindu di sentuh jari – jari nya. Dua hari penuh dengan sepi,
walalu suara tawa dan perbincangan banyak orang disini tetap membuat aku merasa
sendiri, suara – suara yang masuk ibarat sebuah kilat dan hanya sesaat, padahal
di luar sadarku kilatnya menggeleggar, begitulah ramainya seisi toko ini, dan
itulah rupa sepi hatiku. Kesepianku ini seolah di rahasiakan langit senja yang
sedang cantik – cantiknya, itu sebabnya setelah bertemu dengannya aku selalu
memuja langit senja yang pandai menjagaku dari lemah, demi tidak di ketahuinya,
jika langit abu – abu, murung, dan menekuk dagu, comel sana sini bahwa aku
tengah kesepian dan sesekali menangis, lalu siapa yang akan berbohong dan
menjaga kelemahanku agar tidak menjadi buah bibir. Senja selalu menjadi yang
terbaik di hati siapapun bukan, senja yang selalu menyita semua mata, senja
keemas – emasan yang merah.
“
permisi mba, saya mau beli jas yang di pajang disana “, “ baik mas akan saya
sediakan “.
Begitulah
percakapan yang ku tangkap di belakang tubuhku yang kaku dan terpajang di depan
toko, suara yang akrab dengan telingaku, suara yang lirih mendayu – dayu, suara
yang menjelma lagu kebahagiaan, suaranya. Aku menyelipkan pelukan – pelukan
tanpa tubuh di saku jas yang di pakai manekin laki – laki di sebelahku, jas ini
akan dibeli laki – laki itu, jas ini akan di kenakannya, bersama pelukanku,
yang akan menjaganya dari dingin, yang akan membuatnya tetap hangat, aku tak
peduli mungkin dia akan merasa kegerahan atau semacamnya, pelukanku akan terus
mengelana di sepanjang tubuhnya.
Setelah
hari itu, batas aku menatapnya hanya di batasi jalan, dia tidak lagi berkunjung
kesini, dia rutin datang ke coffee house, sekedar untuk bersantai sambil minum
coffee dan menatap tanpa bosan perpisahan senja dengan Alam, aku menikmatinya
dari sini, rasa rindu masih menggebu –gebu walau beberapa terselesaikan, namun
dagaha di kulitku masih membara, terakhir berkunjung jarinya tak lagi menekan –
nekan pahaku, padahal aku sangat ingin, hal itu sudah seperti candu yang
membuat aku sakau. Dari hari ke hari memandanginya dari sini adalah satu –
satunya cara yang dapat aku tempuh, meskipun aku dapat berlari menerobos kaca,
tapi tak akan aku lakukan, banyak hal yang akan terjadi jika begitu, dia akan
gila karena dia dicintai sebuah manekin, dan aku akan kehilangannya,
kemungkinan terbaiknya adalah, dia memang sudah gila dari dulu dan akan menikahiku.
Namun apalah arti cinta dari sebuah manekin yang terpajang sempurna di balik
kaca toko, sementara keajaiban masih tidak mungkin hinggap di kehidupan sebuah
manekin, biarkan laki – laki itu hidup selamanya dalam ruang kepala yang sudah
terpenuhi berjuta – juta wajahnya, dan biarkan pula, kemarau panjang meretakkan
kulit – kulit yang haus akan sentuhannya. Manekin itu selamanya terperangkap
dalam bayang – bayang laki – laki beraroma jeruk yang menyegarkan, selamanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar