Aku merasa bahagia ketika aku bermain dengan bayangannya,
mencoba menembus loronng waktu, bersama tawa tanpa air mata, namun aku
merasakan kesendirian ketika sunyi sang waktu yang nyata,
menyembunyikan bayangannya dalam malam pekat tanpa purnama,
Ayah
bersama suka yang terlalu banyak duka, aku mecoba merentangkan sayap
yang tak sempurna, berharap mampu ku bawa kelelahan jiwa menuju
singgasana, tempat dimana engkau menidurkan ruhmu di atas permadani
syurga.
Ayah hari ini waktu membesit luka
kembali, ketika sekumandang alam bergema dalam tasbih, meninggikan
kemenangan agama ini, ayah iman yang engkau tuai dalam kehidupanku,
telah membawa serta ketenangan dalam hatiku, namun aku tetap saja
menjadi seperti kelam tanpa cahaya sabit seperti malam ini, aku tetap
kosong tak berarti, bergema asma-Nya telah melengkapi perih kehilangan
ini, aku bukan benci engkau pergi, aku bukan marah melihat kau tak
disini, namun hati nan sukma ini telah lebih terluka dari pada
kehilangan yang terkasih, lebih perih menusuk sanubari.
Berulang
kali aku mencoba menepis, rindu yang ku tau takan ternafkahi, karena
tempat dimana kau berdiri lebi jauh dari pada ujung bumi hingga tepian
semesta yang aku tempati, apapun yang ada disini, yang masih nyata dan
tersentuh, takan ada yang mampu membawaku lebih dekat denganmu, hanya
ketika aku telah menyatu bersama wujudku, di bawah perut bumi yang
abadi. Hanya ketika itu aku mampu mendekapmu.
Ayah
betapa tak mampu ku tuai lagi, kenangan yang ku cipta yang tak pernah
ada, aku lelah terus saja mereka-reka wajahmu, mengingat ketika engkau
tersenyum dalam khayalanku, ilusi yang semu telah mematahkan
kerapuhanku lebih cepat dari pada kelelahan untuk menunggu, dahagaku
tak mampu aku luapkan ketika air mata ini telah sama menjadi kering,
dalam malam di bawah kelam, aku memohon untuk sebuah pertemuan, dimana
aku mampu menyimpan kenangan yang tidak pernah terjadi dalam masa
silam, sebuah pertemuan dalam tidur yang tak abadi, namun ayah, Ia
masih tak ingin menghentikan air mataku, masih ingin menatap aku
menanti, katakan harus berapa lama lagi, aku memanjakan hatiku dalam
perih, dan harus butuh waktu berapa lagi untuk menjadikan jiwa yang
sehancur hancurnya dalam mencari, harus berapa lama lagi aku memaksakan
ilusi ini untuk melukis paras yang tidak pernah aku ketahui, harus
berapa lama lagi ya TUHAN.
Kemenangan ini haruskah aku ber’empati, bila masih hati ini merintih menanti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar