Selasa, 06 Maret 2012

Ayah

Aku merasa bahagia ketika aku bermain dengan bayangannya, mencoba menembus loronng waktu, bersama tawa tanpa air mata, namun aku merasakan kesendirian ketika sunyi sang waktu yang nyata, menyembunyikan bayangannya dalam malam pekat tanpa purnama,
 Ayah bersama suka yang terlalu banyak duka, aku mecoba merentangkan sayap yang tak sempurna, berharap mampu ku bawa kelelahan jiwa menuju singgasana, tempat dimana engkau menidurkan ruhmu di atas permadani syurga.
Ayah hari ini waktu membesit luka kembali, ketika sekumandang alam bergema dalam tasbih, meninggikan kemenangan agama ini, ayah iman yang engkau tuai dalam kehidupanku, telah membawa serta ketenangan dalam hatiku, namun aku tetap saja menjadi seperti kelam tanpa cahaya sabit seperti malam ini, aku tetap kosong tak berarti, bergema asma-Nya telah melengkapi perih kehilangan ini, aku bukan benci engkau pergi, aku bukan marah melihat kau tak disini, namun hati nan sukma ini telah lebih terluka dari pada kehilangan yang terkasih, lebih perih menusuk sanubari.
Berulang kali aku mencoba menepis, rindu yang ku tau takan ternafkahi, karena tempat dimana kau berdiri lebi jauh dari pada ujung bumi hingga tepian semesta yang aku tempati, apapun yang ada disini, yang masih nyata dan tersentuh, takan ada yang mampu membawaku lebih dekat denganmu, hanya ketika aku telah menyatu bersama wujudku, di bawah perut bumi yang abadi. Hanya ketika itu aku mampu mendekapmu.
Ayah betapa tak mampu ku tuai lagi, kenangan yang ku cipta yang tak pernah ada, aku lelah terus saja mereka-reka wajahmu, mengingat ketika engkau tersenyum dalam khayalanku, ilusi yang semu telah mematahkan kerapuhanku lebih cepat dari pada kelelahan untuk menunggu, dahagaku tak mampu aku luapkan ketika air mata ini telah sama menjadi kering, dalam malam di bawah kelam, aku memohon untuk sebuah pertemuan, dimana aku mampu menyimpan kenangan yang tidak pernah terjadi dalam masa silam, sebuah pertemuan dalam tidur yang tak abadi, namun ayah, Ia masih tak ingin menghentikan air mataku, masih ingin menatap aku menanti, katakan harus berapa lama lagi, aku memanjakan hatiku dalam perih, dan harus butuh waktu berapa lagi untuk menjadikan jiwa yang sehancur hancurnya dalam mencari, harus berapa lama lagi aku memaksakan ilusi ini untuk melukis paras yang tidak pernah aku ketahui, harus berapa lama lagi ya TUHAN.
Kemenangan ini haruskah aku ber’empati, bila masih hati ini merintih menanti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar