seorang terkasih betanya kepada siang hari " wahai siang hari, tahukah engkau kemana perginya ketenangan yang hakiki ? "
namun
siang hari tetap diam dalam pesona sang surya yang anggun, tetap
bersahaja dan tangguh bertahtakan cahaya dunia ialah sang surya yang
menjadi lentera jiwa-jiwa yang buta.
kemudian ia bertanya pada senja " wahai sang senja, tahukah engkau kemana perginya ketenangan yang hakiki ? "
namun sang senja masih tetap diam dalam keemasan siluetnya yang elok, dalam keheningan yang syahdu.
seorang
terkasih yang malang itu kemudian berhenti dalam separuh perjalanannya,
ia bersandar pada dermaga yang usang, sejenak memejamkan kedua matanya,
hatinya mengaduh, merontak, berdebat pada satu emosi dan ambisi,
perjalanan seorang terkasih yang tanpa tuan, untuk mencari ketenangan
yang pergi karena kegaduhan yang merajai ruh-ruh tanpa jasadnya.
detik-detik Tuhan semakin berlalu, aroma sang senja semakin memudar begitupun wajah-wajah cakrawala, pucat dan semakin hitam.
kemudian
seorang terkasih itu bertanya pada sang malam " wahai malam, tahukah
engkau kemana perginya ketenangan yang hakiki ? aku telah berlalu
bergegas meninggalkan waktu sebelummu, namun tak ku temukan satu patah
katapun dari mereka, akankah kau pun sama akan tetap bungkam ? aku
lelah berseteru dengan hukum-hukum ambisi yang serakah ini, aku ingin
lepas dan bebas dalam duniaku tanpa tuntutan anak-anak setan."
namun
malam masih tetap diam, dalam keseriusan yang tajam, dalam dingin yang
mencekam, namun kali ini ia memberi jawaban tanpa perkataan, ia
menunjuk ke arah bukit-bukit menjulang yang rimbun dengan pepohonan tua
dan menjulang, bahasa isyaratnya seolah menyuruh seorang terkasih untuk
menelusuri bukit-bukit dengan pohon-pohon menjulang itu.
seorang
terkasih bergegas dari peristirahatannya dan berjalan setapak menuju
bukit-bukit itu, semakin jauh ia berjalan semakin berkurang pula
suara-suara pemberontak dengan sejuta tuntutan kehidupan dalam alam
fikirannya, dan dalam separuh perjalananya ia menemukan satu titik
cahaya yang seperti fatamorgana, dari pantulan cahaya purnama dengan
muka-muka samudra, ia kemudian menelusuri cahaya dan dalam sekejap ia
temukan ketenangan yang hakiki itu, ia melihat ambisi dan emosinya
tertinggal dalam malam yang kelam, sementara ia berada dalam cahaya
yang begitu damai, ia merasa sendiri, namun ternyata tidak, dalam
ketenangannya ia temukan anak-anak peri dunia ghaib yang membawa
semangkung cinta dan kasih kudus untuknya, dan malaikat-malaikat
membawa dawai-dawai yang merdu sembari menyanyikan tembang
kebahagiaan, dan ia berkata," sahabatku semangkuk cinta yang kau
genggam adalah air mata kehilangan dan rasa sayang serta suka cita dari
para pacintamu di sana, dan tembang yang aku perdengarkan adalah
lantunan doa-doa yang khusu dari para sahabat,kekasih,dan keluargamu,
ketahuilah ketenangan ini adalah buah atas kesabaranmu dan keikhlasanmu
akan ambisi dan tuntutan duniawi".
seorang terkasih itu telah jauh dari dunia yang penuh tuntutan, dan ia telah menemukan ketenangan yang hakiki dalam rumah Tuhan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar